Seorang gadis cantik 15 tahun (sebut saja namanya Bunga), datang ke klinik Hipnnoterapi Jakarta bersama kedua orang tuanya. “Anak saya suka nangis-nangis sendiri, Pak!” begitu kata Mamanya saat konsultasi di Whatsapp.
Saat saya bertanya,”Apa yang terjadi, Bunga?”
Bunga tiba-tiba saja meneteskan air mata. Sambil sesenggukan, ia menjawab pertanyaan saya dengan terbata-bata. “Nggak tau.. kayak sedih aja..” katanya sambil menunjuk ke arah dada.
Mamanya membantu menceritakan bahwa Bunga dulunya tidak begitu. Namun sejak mengalami bullying dari teman-temannya, perlahan-lahan perilakunya berubah. Jadi gampang baper dan suka menangis sendiri.
Ia pernah beberapa kali dibully oleh teman-temannya. Di kelas 5, 6, 7, sampai sekarang di kelas 9. Kumbang, Jangkrik, Belalang (bukan nama sebenarnya) adalah teman-teman lelakinya yang suka melakukan bullying.
Mulai dikata-katai kasar dan menghina sampai perlakuan fisik seperti dipukul dan ditendang.
Rupanya perlakuan ini masih membekas sampai sekarang.
Belum lagi perlakuan Dahlia, Mawar, Cempaka (juga bukan nama sebenarnya), teman-teman wanitanya yang suka menggosipinya dari belakang.
Bertambahlah penderitaannya karena merasa sendirian dan tak berdaya.
Rupanya, ada satu keahlian khusus yang tidak dimiliki Bunga sehingga ia mudah sekali di bully. Teman-temannya yang lain pun sudah seringkali mengajarinya. Keahlian itu namanya “ngebacot.”
“Ngebacot” adalah membalas perlakuan teman yang jahil/ membully dengan kata-kata yang tegas seperti ungkapan tidak suka, tidak peduli, menantang balik, alih-alih hanya sekedar diam dan menerima begitu saja perlakuan bullying itu.
Saat menjalani sesi hipnoterapi di klinik hipnoterapi, ketemu dua akar masalah yang menghambat bunga untuk “ngebacot.”
Pertama, dula ia pernah ditinggal mamanya saat usia 5 tahun. Hal ini menimbulkan kesedihan dan rasa tidak percaya diri.
Yang kedua, ia pernah beberapa kali dimarahi mamanya dan merasa tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Situasi yang mirip terjadi saat teman-teman membully-nya.
Setelah kedua masalah tersebut diatasi, Bunga diajak kembali “bertemu” dengan para pembullynya. Ia rasakan rasa sakit dan sedih saat dibully. Tetapi mulai tumbuh keberanian untuk mengungkapkan rasa tidak suka.
Sampai akhirnya satu persatu pembully itu “ditemui”, dan beragam perilaku “ngebacot” pun muncul dalam dialog sesi hipnoterapi. Lho, kok sekarang raut wajahnya berubah?! Lebih cerah, sedikit tersenyum, kadang-kadang bibirnya moncong sedikit saat “ngebacot” teman-temannya.
Saya tambahkan beberapa sumber daya lain untuk memperkuat kepercayaan diri dan keberanian dalam “ngebacot” teman-teman yang usil.
Lalu setelah terapi selesai saya pun bertanya,”Gimana perasaan kamu sekarang, Bunga?”
“Legaaa!” Jawabnya.”
Berapa level keberanian kamu untuk ‘ngebacot’ sekarang?” saya tanya lagi.
“10!” Jawabnya.