Mari kita belajar salah satu asumsi yang dipegang oleh para praktisi NLP, yaitu Presuposisi NLP, Peta Bukanlah Wilayah Yang Sebenarnya.
Sebelum memasuki sebuah kota yang akan dikunjungi, saya biasanya melihat-lihat peta wilayah tersebut dahulu. Saya sangat sering menggunakan Google Map karena mudah digunakan dan hemat. Namun karena memutuskan untuk lama tinggal di Depok, saya membeli sebuah Peta Kota Depok. Saya melihat-lihat peta tersebut dan membandingkannya dengan apa yang saya lihat di Google Map.
Mari kita simak gambar Peta Kota Depok berikut ini. Peta ini tentu banyak keterbatasannya, tidak presisi, bisa ketinggalan jaman, dll. Di dalam peta ini, mesjid kubah emas/ Dian al Mahri tidak ada gambarnya, sementara kalau dilihat di Google Map akan kelihatan jelas dimana lokasinya. Berarti ada perbedaan diantara kedua peta tersebut. Peta cetak yang saya pegang tidak lengkap karena sudah tidak up to date lagi. Apa jadinya jika orang terus menggunakan peta yang tidak akurat ini?
Seperti halnya peta tersebut, maka demikian juga halnya dengan peta pikiran kita (persepsi/ paradigma). Ia kita gunakan untuk melihat bagaimana wilayah yang sebenarnya (realita kehidupan). Salah satu presuposisi NLP (asumsi yang dianggap benar) mengatakan bahwa:
“The Mas is Not The Territory”
Artinya, bahwa peta bukanlah wilayah sebenarnya. Tetapi, manusia justru bereaksi bukan berdasarkan keadaan yang sebenarnya (realita), melainkan berdasarkan peta/ persepsi/ paradigma di dalam pikirannya. Itulah sebabnya kenapa orang bisa bereaksi berbeda-beda walaupun mengalami peristiwa yang sama.
Bagaimana terbentuknya peta pikiran?
Mari kita ambil contoh seorang guru yang mengajarkan pelajaran Matematika. Guru tersebut memberikan pelajaran yang sama kepada anak muridnya. Apakah murid-murid tersebut memiliki pemahaman yang sama terhadap pelajaran Matematika? Tentu saja tidak, bukan? Pemahaman yang didapat murid-murid tersebut akan berbeda-beda yang disebabkan oleh banyak sebab. Penyebabnya antara lain apa yang disebut dengan Delesi, Distorsi, dan Generalisasi.
- Delesi (penghapusan), pelajaran yang disampaikan guru tersebut tidak diterima secara utuh, ada yang terhapus. Mungkin disebabkan oleh kurang fokus, ada gangguan, dan sebagainya. Hal ini akan mengakibatkan peta pikiran si murid menjadi kurang lengkap.
- Distorsi (penyimpangan), pelajaran yang disampaikan guru tersebut mengalami pergeseran makna, penyimpangan, salah tafsir, dan sebagainya. Hal ini akan mengakibatkan pemahaman Matematika yang dipahami murid menjadi keliru.
- Generalisasi (penyamarataan), pelajaran yang disampaikan guru tersebut disamaratakan dengan hal lain yang sebenarnya berbeda.
Selain itu, proses pembentukan peta pikiran akan dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinan (Belief) yang dimiliki murid, rasa suka-tidak suka, nilai-nilai (Value) yang dimiliki, dsb. Saat peta pikiran terhadap Matematika sudah terbentuk, maka murid-murid pun kelak akan memandang Matematika berdasarkan “peta pikiran”nya, bukan berdasarkan Matematika itu sendiri. Mereka pun akan bereaksi berdasarkan “peta pikiran” tersebut, ada yang menganggap Matematika itu sulit, ada yang menganggap mudah, ada juga yang memandang mengasyikkan, dsb.
Begitulah proses terbentuknya “peta pikiran”/ persepsi/ paradigma di dalam pikiran kita. Ini merupakan salah satu presuposisi NLP yang perlu dipahami saat belajar NLP. Semakin banyak “peta pikiran” yang kita miliki akan semakin baik pula cara pandang kita terhadap realita kehidupan.